Tokoh Sejarah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Sang Bangsawan yang Demokratis
Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di
bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4
tahun membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) menemukan
banyak alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton
Yogyakarta. Dengan wawasan barunya ia menunjukkan bahwa raja
bukan lagi gung binathara, melainkan demokratis. Raja berprinsip
kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana. Ia memiliki
paham kebangsaan yang tinggi.
Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari
Sabtu Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam
pada tanggal Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama
Dorodjatun. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang
kemudian hari ketika Dorodjatun berusia 3 tahun Beliau diangkat
menjadi putera mahkota (calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putera
Narendra ing Mataram.
Sedangkan ibunya bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom.
Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya,
dititipkan pada keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di
Gondokusuman untuk mendapat pendidikan yang penuh disiplin dan
gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang raja.
Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie
yang diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina
dari Negeri Belanda. Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak
atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer yang terletak di
Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar
Eerste Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian
Dorodjatun melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS,
setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan kemudian di Bandung. Pada
tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di
Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang
Indonesia) kemudian ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939.
Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940
atau tanggal 8 bulan Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun
dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar
Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono,
Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping IX.
Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia
yang fana ini, dia juga Senopati Ing Ngalogo yang berarti
mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian atau peperangan
dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada
saat terjadi peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto
Gomo atau penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai
Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang
demokratis. Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak
perubahan di bawah pimpinannya. Pendidikan Barat yang dijalaninya
sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak alternatif
budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian
hari. Berbagai tradisi keraton yang kurang menguntungkan
dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru HB IX menghapusnya.
Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh
itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu
menemukan terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan
Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan Mataram pernah berhasil
mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa
kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati,
berbudi bawa leksana ambeg adil para marta (besar laksana
kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa dunia, meluap budi
luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan
wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara,
melainkan demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi
tetap berbudi bawa leksana.
Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi.
Dalam pidato penobatannya sebagai Sri Sultan HB IX ada dua hal
penting yang menunjukkan sikap tersebut. Pertama, adalah kalimat
yang berbunyi: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat
yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah
orang Jawa.” Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji
perjuangan: “Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan
berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa
dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.”
Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang
mendukung Republik Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera
setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat kepada Presiden RI
yang menyataak keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung
pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami
situasi gawat, HB IX tidak keberatan ibukota RI dipindahkan ke
Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki musuh, ia bukan saja
tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka,
namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan
dirinya, termasuk mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di
kompleks keraton pada serangan oemoem 1 Maret 1949. Jelaslah
bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan
RI, HB IX terjun dalam dunia politik nasional.
Penggagas Serangan Oemoem
Berdasarkan dokumen-dokumen asli yang kini dimiliki Arsip Nasional RI
semakin jelas, penggagas Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 adalah
mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sebuah dokumen hasil
wawancara mendiang Raja Yogyakarta itu dengan Radio BBC London
tahun 1980-an secara jelas mengatakan hal itu. Dari wawancara itu
juga terungkap, peran mantan Presiden Soeharto yang ketika itu
masih berpangkat Letnan Kolonel hanya sebatas sebagai pelaksana
saja.
“Yang pasti, penggagas Serangan Oemoem itu adalah mendiang Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan bukan Pak Harto seperti selama ini diyakini
pemerintah Orde Baru,” kata Kepala Arsip Nasional RI Dr Muhklis
Paeni, dalam konferensi pers di gedung Arsip Nasional RI Jakarta,
Jumat (10/3) petang.
Menurut Muhklis, gagasan mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mau
mengadakan SO 1 Maret 1949 itu karena dilatarbelakangi oleh
kepentingan nasional yakni menunjukkan kepada dunia internasional
bahwa “denyut nadi” Republik Indonesia masih hidup. Ide itu,
jelas Muhklis, lalu didiskusikan dengan Panglima Besar Jenderal
Sudirman dan akhirnya disetujui. Atas saran Jenderal Sudirman,
Sri Sultan lalu menghubungi Letkol Soeharto soal ide itu dan
membicarakan pengoperasiannya.
Sejarah Mudah Berbaur Dongeng
Penulisan sejarah cenderung memilih kejadian yang dramatis dengan
menampilkan pelaku sejarah yang serba heroik. Maka, sejarah seringkali
mudah berbaur dengan dongeng, di mana seorang tokoh dimitoskan
layaknya wong agung. Hal tersebut diungkapkan oleh Sultan
Hamengku Buwono (HB) X dalam sambutannya pada peresmian Tetenger
(tanda) Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 di
kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (29/6/02).
Sultan HB X menyatakan, seorang pelaku sejarah atau tokoh sejarah
yang memberikan keterangan dengan mendistorsikan peristiwanya
tidak hanya merusak nama baiknya sendiri, tetapi hakikatnya juga
merusak bangsa. Sebab, apa yang ditulis berdasarkan keterangannya
itu akan memberikan nuansa tertentu dalam proses pemahaman
terhadap jati diri bangsa.
Sumbangan masyarakat
Tetenger Pelurusan Sejarah SO 1 Maret itu terbuat dari batu besar
seberat 8,4 ton diambil dari lereng Merapi, yang disangga oleh
bangunan patma dari cor beton. Di batu itu terdapat tulisan
Tetenger Pelurusan Sejarah Serangan Oemum 1 Maret 1949. Di kaki
penyangga juga terdapat tulisan Pertemuan Sultan HB IX dengan
Komandan Werkhreise (WK) III, dengan penunjuk arah panah ke
selatan. Artinya, di sebuah ruangan kompleks Keraton Yogyakarta
yang terletak di sebelah selatan tetenger itu menjadi tempat
pertemuan HB IX dengan Komandan WK III. Komandan WK III yang
dimaksudkan itu adalah Letkol Soeharto (mantan Presiden).
Letak tetenger ini di sebuah taman luar keraton yang disebut Keben,
atau berjarak sekitar 200 meter dari Monumen SO 1 Maret yang
terletak di depan Istana Presiden Gedung Agung yang dibangun pada
masa pemerintahan Orde Baru. Dana tetenger yang digarap oleh
seniman patung kenamaan Yogyakarta Edhi Sunarso ini didanai dari
masyarakat lewat dompet yang dibuka oleh Harian Kedaulatan
Rakyat, Bernas dan Radar Yogya.
Makna tetenger pelurusan sejarah SO 1 Maret ini, sebagaimana
diungkapkan oleh Ketua Panitia Marsoedi (pelaku sejarah), bahwa
penggagas ide SO 1 Maret 1949 bukan Letkol Soeharto sebagaimana
tertulis dalam sejarah yang ada saat ini, tetapi HB IX. Sedang
pelaksanaan operasi lapangan adalah pasukan WK III yang
dikomandani oleh Letkol Soeharto.
Penting
Dalam sambutannya HB X menyatakan, iklim reformasi ditandai suasana
keterbukaan sikap kritis terhadap penulisan berbagai peristiwa dalam
sejarah modern Indonesia. Dalam hubungan itu, keterangan saksi
sejarah untuk pelurusan suatu peristiwa sejarah mendapatkan
momentum yang tepat, karena sesungguhnya penulisan sejarah
bukanlah persoalan kecil.
“Historiografi harus bisa menempatkan visi yang didukung oleh
verifikasi, untuk mendudukkan secara proporsional peran pelaku
sejarah dalam kaitan peristiwa sejarah,” tegas HB X.
Menyinggung sejarah SO 1 Maret 1949, HB X menyatakan, pada tanggal
itu sekitar pukul 06.00 pasukan TNI menyerang Yogyakarta yang
diduduki Belanda sejak 19 Maret 1948. Pasukan TNI mampu bertahan
selama enam jam di Yogyakarta. Berdasarkan peristiwa sejarah ini,
di tahun 1950-an Usmar Ismail memproduksi film semidokumenter
yang diberi judul Enam Jam di Yogya. Sementara setelah itu
diproduksi peristiwa yang sama dengan nuansa yang berbeda dengan
judul Janur Kuning.
Meskipun situasi telah berubah dengan munculnya Tetenger SO 1 Maret
1949, bagaimanapun tak bisa dipungkiri peranan Letnan Kolonel
Soeharto waktu itu tetap penting dan patut dicatat dalam sejarah.
Tidak mudah dalam kondisi yang serba terbatas, dengan alat
komunikasi yang primitif, merencanakan dan melancarkan suatu
serangan terkoordinasi dengan melibatkan paling sedikit 2.000
prajurit.
Namun, lanjut HB X, SO 1 Maret 1949 yang dimaksudkan sebagai persitiwa
politik-militer dengan dampak internasional -meskipun pimpinan
negara ditawan di Pulau Bangka- pasti telah melibatkan
tokoh-tokoh lain, bukan seorang Soeharto sendiri.