Sabtu, 10 Maret 2012



Abdulrahman Saleh



Abdulrahman Saleh, Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda Anumerta, (lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 – meninggal di Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun) atau sering dikenal dengan nama julukan "Karbol" adalah seorang pahlawan nasional Indonesia, tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi kedokteran Indonesia.


Kegiatan kedokteran dan militer
Setelah ia memperoleh ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.

Ia juga aktif dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.


Rasuna Said

Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14 September 1910 – meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Riwayat
H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Mohammad Husni Thamrin

Mohammad Husni Thamrin (lahir di Sawah Besar, Jakarta, 16 Februari 1894 – meninggal di Jakarta, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak menyandang nama Belanda.

Ia dikenal sebagai salah tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang pertama kali menjadi anggota Dewan Rakyat di Hindia Belanda (Volksraad), mewakili kelompok Inlanders. Sejak 1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui Parindra.

Kematiannya penuh dengan intrik politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum kematiannya, ia ditahan tanpa alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri namun ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.

Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta pada tahun 1970-an
Laksamana Laut R.E. Martadinata

Laksamana Laut R. Edy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun) atau yang lebih dikenal dengan nama R.E. Martadinata adalah tokoh ALRI dan pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung[1] dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Riwayat hidup
Ia adalah lulusan Sekolah Pelayaran (Zeevaart School) di Surabaya pada zaman penjajahan Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang ia bekerja sebagai aspiran (calon) atau penerjemah di sekolah tinggi pelayaran Semarang.

Saat PPKI membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian disahkan Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945, ia juga turut membentuk BKR Laut Jawa Barat dibawah pimpinan Aruji Kartawinata yang kemudian berkembang menjadi ALRI.


Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 November 1862) adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam (1803-1819), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803) .

Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bamk Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.


  
Pattimura

Kapitan Pattimura (lahir di Negeri Haria, Porto, Pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), atau dikenal dengan nama Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia, adalah Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putra Frans Matulessia dengan Fransina Silahoi. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[1] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[2]


Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973

Asal-usul Tuanku Imam Bonjol

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab atau Petto Syarif, dan kemudian Tuanku nan Ranceh dari Kamang salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan, menunjuk beliau sebagai Imam di Bonjol.